Minggu, 05 Agustus 2012

Wujud Nilai dan Norma Sosial

Selama mengadakan interaksi sosial individu perlu memperhatikan nilai-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-norma sosial itulah yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi sosial.
1. Pengertian Nilai Sosial
Nilai merupakan kumpulan sikap perasaan ataupun anggapan terhadap sesuatu hal mengenai baik-buruk, benar-salah, patut-tidak patut, mulia-hina, penting atau tidak penting.



2. Jenis-jenis Nilai Sosial
Notonegoro membedakan nilai sosial menjadi tiga macam yaitu:
a. Nilai material, adalah segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
b. Nilai vital, adalah segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai aktivitas.
c. Nilai kerohanian, adalah segala sesuatu yang berguna bagi kebutuhan rohani manusia, seperti:
1) Nilai kebenaran, yaitu nilai yang bersumber pada akal manusia (cipta);
2) Nilai keindahan, yaitu nilai yang bersumber pada unsur perasaan (estetika);
3) Nilai moral, yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak (karsa); dan
4) Nilai keagamaan (religiusitas), yaitu nilai-nilai yang bersumber pada revelasi (wahyu) dari Tuhan.
3. Fungsi Nilai Sosial

Fungsi nilai sosial antara lain:
a. Sebagai faktor pendorong berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan cita-cita atau harapan.
b. Sebagai petunjuk arah dari cara berpikir, berperasaan, dan bertindak.
c. Sebagai alat pengawas dengan daya tekan dan pengikat tertentu.
d. Sebagai alat solidaritas kelompok atau masyarakat.
e. Sebagai benteng perlindungan atau penjaga stabilitas budaya kelompok atau masyarakat.

Sumber-sumber Nilai Sosial
1.Internal (Individu) : pengalaman
2.Eksternal : masyarakat, agama, ilmu pengetahuan
lain-lain
1.Tidak berwujud
2.tidak memiliki sanksi sosial

Norma Sosial
1. Pengertian Norma Sosial
Nilai dan norma selalu berkaitan. Walaupun demikian, keduanya dapat dibedakan. Kejelasan hubungan antara nilai dengan norma dapat dinyatakan bahwa norma pada dasarnya adalah juga nilai, tetapi disertai dengan sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya. Norma merupakan aturan-aturan dengan sanksi-sanksi yang dimaksudkan untuk mendorong, bahkan menekan anggota masyarakat secara keseluruhan untuk mencapai nilai-nilai sosial.

2. Jenis-jenis Norma 
a. Norma sosial dilihat dari sanksinya
1) Tata cara (usage)
Tata cara merupakan norma yang menunjuk kepada satu bentuk perbuatan dengan sanksi yang sangat ringan terhadap pelanggarnya. Misalnya, aturan memegang garpu atau sendok ketika makan.
2) Kebiasaan (folkways)
Kebiasaan atau folkways merupakan cara-cara bertindak yang digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang. Folkways mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar daripada usage. Misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda hormat kepada orang yang lebih tua.
3) Tata Kelakukan (Mores)
Tata kelakukan merupakan norma yang bersumber kepada filsafat, ajaran agama, atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya disebut penjabat. Contoh mores antara lain: larangan berzina, berjudi, minum minuman keras.
4) Adat (Customs)
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita karena sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan.
5. Hukum (Laws)
Hukum merupakan norma yang bersifat formal dan berupa aturan tertulis. Sanksi terhadap pelanggar sifatnya paling tegas apabila dibandingkan dengan norma-norma sosial lainnya.
b. Norma Sosial Dilihat dari Sumbernya
1) Norma agama, yakni ketentuan-ketentuan hidup bermasyarakat yang bersumber pada ajaran agama (wahyu atau revelasi).
2) Norma kesopanan atau etika, yakni ketentuan-ketentuan hidup yang berlaku dalam hubungan atau interaksi sosial masyarakat.
3) Norma kesusilaan, yakni ketentuan-ketentuan yang bersumber pada hati nurani, moral atau filsafat hidup.
4)Norma hukum, yakni ketentuan-ketentuan tertulis yang berlaku dan bersumber pada Kitab Undang-undang suatu negara.
Masa depan adalah kolaborasi masa lalu dengan karya hari ini

Perlunya Menumbuhkan Jiwa Sosial

Membantu sesama manusia, apapun agama dan rasnya, adalah ajaran yang bersifat universal. Akan tetapi, kepekaan untuk mengulurkan tangan saat melihat atau mendengar kesulitan yang dialami oleh orang lain ternyata tidak dengan begitu saja berkembang pada jiwa manusia. Dibutuhkan proses latihan dan sentuhan pendidikan. Dunia pengasuhan anak walau bagaimanapun mewadahi tugas ini.
 


Mengapa kepekaan membantu menjadi penting dimiliki seorang anak?

Alasannya bisa ditarik dari beberapa sudut pandang, mungkin ajaran agama, mungkin humanisme, atau mungkin untuk kebutuhan timbal-balik agar mereka juga diperlakukan baik oleh orang lain.
Apapun motivasinya, jiwa membantu/jiwa relawan atau jiwa volunteer akan memberi anak-anak kualitas diri yang luar biasa. Persoalan kehidupan menjelma di berbagai sudut, tanpa jiwa volunteer, semuanya akan selalu berakhir bak kehidupan rimba, di mana ego meraja, dan kaum tertindas makin terlindas, sehingga keadilan pun makin menjauh dari kehidupan manusia.
Semakin banyak anak yang terdidik dan terasuh dengan nilai-nilai sosial maka akan ada harapan di masa depan, mereka akan menjadi pionir untuk terwujudnya masyarakat yang saling menolong dan bukan saling menguasai demi kepuasan ego. 


Memulai dari Rumah
Frasa "memulai dari rumah" mungkin kelihatan klise. Namun sungguh tak dapat kita pungkiri, semua kebiasaan memang berawal dari rumah, dan jika kebiasaan baik yang diajarkan, maka hal itu akan melekat menjadi akhlak.

Orang tua adalah teladan pertama dalam persoalan kebiasaan, dan banyak hal-hal kecil yang bisa dicontohkan orang tua dalam rangka menumbuhkan jiwa volunteer pada anak. Misalnya saja:
  1. Mengunjungi tetangga atau kerabat yang sakit.
  2. Mengirimkan makanan pada anak-anak panti asuhan atau janda tua yang tak berpenghasilan.
  3. Mengasuh selama beberapa jam anak tetangga yang orang tuanya sedang sakit.
  4. Mengunjungi panti jompo untuk membacakan buku pada para lansia.
  5. Mengajarkan keterampilan yang dikuasai pada anak-anak jalanan atau ibu-ibu yang kehilangan pekerjaan.
  6. Mengijinkan anak-anak sekitar rumah untuk membaca buku koleksi anak-anak kita.
  7. Menyuguhkan minuman pada pedagang keliling yang singgah di teras rumah kita.
  8. Mengajari anak menanam pohon dan mengajak mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan peduli lingkungan, semisal kerja bakti di kampung.
Contoh aktivitas-aktivitas kecil tersebut lambat laun akan mewarnai kehidupan keluarga dan mencelup jiwa anggota keluarga pada sebuah kenikmatan spiritual tersendiri.
Jiwa volunteer akan selalu dibutuhkan sepanjang zaman, untuk mengentaskan kemiskinan, mengentaskan kebodohan, dan memperbaiki kualitas lingkungan tempat manusia hidup.

Asah Jiwa Sosial Anak

BUAH hati yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, adalah dambaan setiap orang tua. Apalagi jika kalau dia memiliki karakter yang empati terhadap sesamanya yang kurang beruntung. Bagaimana mengasah jiwa sosial anak?

Untuk mendapatkan karakter positif anak, butuh proses yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten. Terapis Pusat Layanan Psikologi Islam (Plp-i) Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Ahmad Yasser Mansyur, SAg, SPsi, MSi, PhD, menuturkan, mengajarkan anak mampu bersikap empati terhadap sesama dimulai dari lingkungan keluarga.

“Bahkan sejak dia masih kecil. Misalnya dalam keluarga saya. Saya mempunyai beberapa anak yang dibiasakan melakukan salat berjemaah sehari-hari,” jelasnya, Jumat, 27 Juli.

Ketika salat berjemaah itu, sebenarnya mulai mengakar sikap saling tolong menolong. Misalnya anak yang satu disuruh azan, yang lainnya mengatur sajadah.  Kerja sama ini dibina melalui salat berjemaah. Selain itu, dosen Psikologi UNM ini kerap memberi contoh langsung kepada putra-putrinya.

Yasser-demikian disapa, tak segan-segan melakukan pekerjaan rumah sehari-hari seperti menyapu dan mengepel rumah. Sekaligus membantu sang istri tercinta mengatasi pekerjaan rumah tangga.

"Otomatis anak melihat dan mau membantu. Nah, kalau cikal bakalnya dalam rumah tangga bentuk kepedulian itu terwujud, maka mudah disalurkan ke luar rumah,” lanjut pria kelahiran Ujungpandang, 28 April 1976.

Alumni program doktor psikologi dari Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM)  juga aktif membawa para buah hatinya ke masjid. Ketika sang ayah azan di masjid, mereka belajar azan juga. Ataupun turut dengan teman-teman lainnya di masjid untuk mengaji bersama.

“Kalau di masjid kan juga ada kotak amal. Saya memberi contoh kepada mereka untuk belajar menyumbang atau pun kepada orang-orang cacat di pinggir jalan,” katanya seraya menegaskan sikap empati anak dimulai dari contoh orang tuanya.

Terpisah, Pembantu Dekan II Fakultas Psikologi Universitas 45 Makassar, Patmawaty Taibe, S.Psi, MA menuturkan, mengajarkan anak berperilaku dermawan sebaiknya dimulai sejak usia dini.

“Misalnya dia bermain dengan teman-temannya. Mainannya mau dibagi. Ini contoh kecil,” jelas wanita kelahiran Ujungpandang, 21 Januari 1983.

Perilaku mengajarkan anak berbagi dengan bentuk sumbangan juga bagus dilakukan.

Di Ramadan ini, misalnya. Tak sedikit orang tua menerima permintaan  sumbangan dari panti asuhan maupun masjid. “Orang tua bisa memberi uang kepada anak dan si anak itu yang masukkan ke dalam amplop uang sumbangannya. Tapi berikan penjelasan,” ujarnya. (yan/nin)

Keutamaan Bulan Ramadhan

Ramadhan adalah bulan kebaikan dan barokah, Allah memberkahinya dengan banyak keutamaan sebagaimana dalam penjelasan berikut ini.
1. Bulan Al-Qur'an

Allah menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi manusia, obat bagi kaum mukminin, membimbing kepada yang lebih lurus, menjelaskan jalan petunjuk (Al-Qur'an) pada malam Lailatul Qadar, suatu malam di bulan Ramadhan.

Allah berfirman (yang artinya): “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" [Al-Baqarah : 185]

Ketahuilah saudaraku -mudah-mudahan Allah meberkatimu- sesungguhnya sifat bulan Ramadhan adalah sebagai bulan yang diturunkan padanya Al-Qur'an, dan kalimat sesudahnya dengan huruf (fa) yang menyatakan illat dan sebab: ".... barangsiapa yang melihatnya hendaklah berpuasa" memberikan isyarat illat (penjelas sebab) yakni sebab dipilihnya Ramadhan adalah karena bulan tersebut adalah bulan yang diturunkan padanya Al-Qur'an.

2. Dibelenggunya Syaithan, Ditutupnya Pintu-Pintu Neraka dan Dibukanya Pintu-Pintu Surga

Pada bulan ini kejelekan menjadi sedikit, karena dibelenggu dan diikatnya jin-jin jahat dengan salasil (rantai), belenggu dan ashfad. Mereka tidak bisa bebas merusak manusia sebagaimana bebasnya di bulan yang lain, karena kaum muslimin sibuk dengan puasa hingga hancurlah syahwat, dan juga karena bacaan Al-Qur'an serta seluruh ibadah yang mengatur dan membersihkan jiwa.

Allah berfirman (yang artinya): “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" [Al-Baqarah : 183]

Maka dari itu ditutupnya pintu-pintu jahannam dan dibukanya pintu-pintu surga, (disebabkan) karena (pada bulan itu) amal-amal shaleh banyak dilakukan dan ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah (yakni ucapan-ucapan yang mengandung kebaikan banyak dilafadzkan oleh kaum mukminin -red).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Jika datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga [dalam riwayat Muslim: "Dibukalah pintu-pintu rahmat"] dan ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu syetan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/97 dan Muslim 1079]

Semuanya itu sempurna di awal bulan Ramadhan yang diberkahi, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): "Jika datang awal malam bulan Ramadhan, diikatlah para syetan dan jin-jin yang jahat, ditutup pintu-pintu neraka, tidak ada satu pintu-pintu yang dibuka, dan dibukalah pintu-pintu surga, tidak ada satu pintu-pun yang tertutup, berseru seorang penyeru; "Wahai orang yang ingin kebaikan, lakukanlah! Wahai orang yang ingin kejelekan, kurangilah! Dan bagi Allah mempunyai orang-orang yang dibebaskan dari neraka, itu terjadi pada setiap malam" [Diriwayatkan oleh Tirmidzi 682 dan Ibnu Khuzaimah 3/188 dari jalan Abi Bakar bin Ayyasy dari Al-A'masy dari Abu Hurairah. Dan sanad hadits ini Hasan]

RAHASIA SEDEKAH : 1 = 10

nilah buah dari kesabaran itu. Memulai usaha dari emperan jalan, kini usahanya menjadi kebanggaan dan andalan keluarga. Ketika ditanya apa rahasia suksesnya itu, AISYAH, pemilik Warung Pecel Pincuk Suroboyo itu hanya menjawab: shadaqah.
---

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana seandainya hidup yang sementara ini tidak ada kamus shadaqahnya. Pasti hidup tak karuan. Saya sangat percaya itu. Karena infak dan shadaqahlah yang membuat saya seperti saat ini. Bukan harta berkurang, tetapi semakin tambah berlipat-lipat. Seolah-olah rezeki datang dari berbagai penjuru, sebagaimana janji-Nya.

Saya masih ingat betul saat pertama kali merintis usaha ini. Jatuh bangun saya rasakan. Sekitar tahun 1998, ketika krisis ekonomi melanda negeri ini, saya mencoba mengawali usaha. Dengan kesungguhan, sedikit demi sedikit saya mencoba mempertahankannya. Dan alhamdulillah, usaha itu terus berkembang hingga sekarang. Yang membuat saya semakin bersyukur adalah usaha berkembang di luar perhitungan. Karena kondisi ekonomi saat itu lagi sulit. Banyak usaha serupa gulung tikar.

Dan saya yakin, Allah telah membuatnya demikian. Saya mencoba menata niat kalau usaha ini tidak saya hitung secara bisnis. Tapi, saya lebih berharap barakah Allah dari apa yang saya geluti. Meskipun Allah telah menguji saya dengan kelapangan harta, namun saya selalu merasa was-was kalau harta yang saya terima ini tidak bermanfaat, apalagi membawa mudharat. Berapapun jumlah rezeki tidak ada gunanya kalau tidak kita bagi dengan saudara-saudara kita yang memerlukan.

Kekuatan Shadaqah

Ternyata, manfaat dari kebiasaan bershadaqah itu luar biasa. Yakinlah, Allah pasti akan menolong kita jika kita mau menolong-Nya. Dan Dia tidak akan pernah ingkar janji itu. Mungkin kejadian ini bisa dijadikan contoh. Suatu kali, anak saya mengalami sakit yang tidak sembuh-sembuh. Berbagai macam obat dan dokter saya datangi. Tetapi tak membuahkan hasil apa-apa. Karena kebiasaan berbagi itulah yang saya jadikan solusi.

Tanpa pikir panjang, uang yang seharusnya untuk beli obat saya pakai membeli sekarung beras. Beras itu saya berikan kepada keluarga yatim dan miskin di sekitar rumah. Dan apa yang terjadi. Di luar perhitungan sebelumnya, sakit anak saya berangsur-angsur mulai membaik. Keajaiban shadaqah itu benar-benar saya alami.

Saya tak tahu mengapa seperti itu. Hanya saja, setiap kali saya tak shadaqah, rasanya ada yang kurang. Perasaan was-was, gelisah, dan pusing langsung menyergap saya. Sehari saja tidak shadaqah, badan terasa sakit semua. Mungkin dengan cara begitu Allah menegur saya.

Kepada anak-anak yatim, tukang sapu jalanan, dan dhuafa lainnya saya berbagi. Pikir saya, betapa susahnya mereka, hidup serba kekurangan dan dengan segala keterbatasan. Saya juga mencoba membesarkan lima TK binaan dan sebuah yayasan pemberdayaan umat. Terus, bagaimana seandainya kita yang punya kelebihan tidak mau peduli pada mereka? Betapa sayangnya, orang berpunya tapi kikir dengan hartanya. Padahal, di setiap harta yang dimiliki ada haknya orang-orang yang tak berpunya.

Tradisi Keluarga

Bila dirunut ceritanya, kebiasaan zakat, shadaqah, dan infak adalah kebiasaan keluarga. Orang tua saya (H. ABU ALI-Hj. PANCAR) sedari kecil membiasakan anak-anaknya untuk melakukannya. Mereka memberi contoh kepada anak-anaknya dengan menyantuni fakir miskin. Seringnya melihat kebiasaan itu, membuat kami menjadi terbiasa.

Nah, contoh itu pula yang saya tularkan kepada anak-anak. Selain mengajak mereka untuk langsung datang ke orang yang kita santuni, mereka saya sarankan untuk punya teman asuh. Tujuannya, agar mereka bisa saling membantu. Dengan cara-cara seperti itulah saya coba memanfaatkan apa yang saya miliki. Dengan banyaknya manfaat dari shadaqah yang saya rasakan itulah saya menyebutnya sebagai ’kaya dengan kecepatan’.

( Oleh : Hj AISYAH - Pemilik Warung Pecel Pincuk Suroboyo

Jumat, 03 Agustus 2012

Sosialisasi

Sosialisasi adalah sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory). Karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu.
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua: sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup yang terkukung, dan diatur secara formal.
  • Sosialisasi primer
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
  • Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.
Tipe sosialisasi
Setiap kelompok masyarakat mempunyai standar dan nilai yang berbeda. contoh, standar 'apakah seseorang itu baik atau tidak' di sekolah dengan di kelompok sepermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan, seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu. Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Ada dua tipe sosialisasi. Kedua tipe sosialisasi tersebut adalah sebagai berikut.
  • Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
  • Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan, seperti antara teman, sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat.


Baik sosialisasi formal maupun sosialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut, ia mengalami proses sosialisasi. dengan adanya proses soialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus ia lakukan. Siswa juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perliaku saya sudah pantas atau tidak?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat suluit untuk dipisah-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.
Pola sosialisasi
Sosiologi dapat dibagi menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi partisipatoris. Sosialisasi represif (repressive socialization) menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran keluarga sebagai significant other. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak. Keluarga menjadi generalized other.
Proses sosialisasi
Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
  • Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
  • Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
  • Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
  • Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.'
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.'
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.


Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun penilaian itu belum tentu kebenarannya.
Agen sosialisasi
Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau melakukan sosialisasi. Ada empat agen sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, media massa, dan lembaga pendidikan sekolah.
Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
  • Keluarga (kinship)
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pramusiwi, menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
  • Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
  • Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
  • Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
Contoh:
·         Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.
·         Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
·         Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.
  • Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.

 
© Copyright 2035 CIKALERS SOCIETY
Theme by Yusuf Fikri Modifeid by Ceo CikalBakal

Powered by Blogger