nilah buah dari kesabaran itu. Memulai usaha dari emperan jalan, kini
usahanya menjadi kebanggaan dan andalan keluarga. Ketika ditanya apa
rahasia suksesnya itu, AISYAH, pemilik Warung Pecel Pincuk Suroboyo itu
hanya menjawab: shadaqah.
---
Saya tak bisa membayangkan,
bagaimana seandainya hidup yang sementara ini tidak ada kamus
shadaqahnya. Pasti hidup tak karuan. Saya sangat percaya itu. Karena
infak dan shadaqahlah yang membuat saya seperti saat ini. Bukan harta
berkurang, tetapi semakin tambah berlipat-lipat. Seolah-olah rezeki
datang dari berbagai penjuru, sebagaimana janji-Nya.
Saya masih
ingat betul saat pertama kali merintis usaha ini. Jatuh bangun saya
rasakan. Sekitar tahun 1998, ketika krisis ekonomi melanda negeri ini,
saya mencoba mengawali usaha. Dengan kesungguhan, sedikit demi sedikit
saya mencoba mempertahankannya. Dan alhamdulillah, usaha itu terus
berkembang hingga sekarang. Yang membuat saya semakin bersyukur adalah
usaha berkembang di luar perhitungan. Karena kondisi ekonomi saat itu
lagi sulit. Banyak usaha serupa gulung tikar.
Dan saya yakin,
Allah telah membuatnya demikian. Saya mencoba menata niat kalau usaha
ini tidak saya hitung secara bisnis. Tapi, saya lebih berharap barakah
Allah dari apa yang saya geluti. Meskipun Allah telah menguji saya
dengan kelapangan harta, namun saya selalu merasa was-was kalau harta
yang saya terima ini tidak bermanfaat, apalagi membawa mudharat.
Berapapun jumlah rezeki tidak ada gunanya kalau tidak kita bagi dengan
saudara-saudara kita yang memerlukan.
Kekuatan Shadaqah
Ternyata,
manfaat dari kebiasaan bershadaqah itu luar biasa. Yakinlah, Allah
pasti akan menolong kita jika kita mau menolong-Nya. Dan Dia tidak akan
pernah ingkar janji itu. Mungkin kejadian ini bisa dijadikan contoh.
Suatu kali, anak saya mengalami sakit yang tidak sembuh-sembuh.
Berbagai macam obat dan dokter saya datangi. Tetapi tak membuahkan
hasil apa-apa. Karena kebiasaan berbagi itulah yang saya jadikan solusi.
Tanpa
pikir panjang, uang yang seharusnya untuk beli obat saya pakai membeli
sekarung beras. Beras itu saya berikan kepada keluarga yatim dan miskin
di sekitar rumah. Dan apa yang terjadi. Di luar perhitungan sebelumnya,
sakit anak saya berangsur-angsur mulai membaik. Keajaiban shadaqah itu
benar-benar saya alami.
Saya tak tahu mengapa seperti itu. Hanya
saja, setiap kali saya tak shadaqah, rasanya ada yang kurang. Perasaan
was-was, gelisah, dan pusing langsung menyergap saya. Sehari saja tidak
shadaqah, badan terasa sakit semua. Mungkin dengan cara begitu Allah
menegur saya.
Kepada anak-anak yatim, tukang sapu jalanan, dan
dhuafa lainnya saya berbagi. Pikir saya, betapa susahnya mereka, hidup
serba kekurangan dan dengan segala keterbatasan. Saya juga mencoba
membesarkan lima TK binaan dan sebuah yayasan pemberdayaan umat. Terus,
bagaimana seandainya kita yang punya kelebihan tidak mau peduli pada
mereka? Betapa sayangnya, orang berpunya tapi kikir dengan hartanya.
Padahal, di setiap harta yang dimiliki ada haknya orang-orang yang tak
berpunya.
Tradisi Keluarga
Bila dirunut ceritanya,
kebiasaan zakat, shadaqah, dan infak adalah kebiasaan keluarga. Orang
tua saya (H. ABU ALI-Hj. PANCAR) sedari kecil membiasakan anak-anaknya
untuk melakukannya. Mereka memberi contoh kepada anak-anaknya dengan
menyantuni fakir miskin. Seringnya melihat kebiasaan itu, membuat kami
menjadi terbiasa.
Nah, contoh itu pula yang saya tularkan kepada
anak-anak. Selain mengajak mereka untuk langsung datang ke orang yang
kita santuni, mereka saya sarankan untuk punya teman asuh. Tujuannya,
agar mereka bisa saling membantu. Dengan cara-cara seperti itulah saya
coba memanfaatkan apa yang saya miliki. Dengan banyaknya manfaat dari
shadaqah yang saya rasakan itulah saya menyebutnya sebagai ’kaya dengan
kecepatan’.
( Oleh : Hj AISYAH - Pemilik Warung Pecel Pincuk Suroboyo
0 komentar:
Posting Komentar